Hari Sabtu selalu menjadi hari yang paling Athaya tunggu-tunggu, sebab ini menjadi hari di mana dia bisa berleha-leha dan menghabiskan waktu seharian dengan menonton film atau series favoritnya di kamar. Tapi, hari ini agendanya sedikit berbeda karena Dimas mengajaknya keluar untuk menonton film terbaru garapan Nicholas Cage, salah satu film yang paling ditunggu-tunggu Dimas. Tidak apa, pikirnya. Hitung-hitung untuk memenuhi quality time mereka setelah seminggu jarang bertemu karena terlalu sibuk berkutat dengan dunia masing-masing.
Athaya sudah tampak manis dengan tatanan rambut dikuncir setengah, celana katun hitam, serta kaos putih dipadankan dengan kardigan rajut berwarna khaki yang kemarin sore ia beli. Athaya memang sempat mampir ke salah satu pusat perbelanjaan selepas kuliahnya berakhir. Semua sudah siap, tinggal berangkat. Ia memilih untuk menunggu Dimas dengan berselonjoran di sofa sembari menggulir media sosialnya, membuka cerita Instagram milik teman-teman sampai bel rumahnya berdering menandakan bahwa Dimas sudah tiba.
“Masuk aja, enggak dikunci!” sahutnya dari dalam. Athaya menegakkan punggung ketika menangkap presensi Dimas yang memasuki ruang tamu dengan roman wajah yang sulit untuk dideskripsikan. Takut? Sedih? Lesu? Atau Dimas sebenarnya sedang sakit?
“What’s with that face?” tanya Athaya ketika Dimas mendudukkan diri di sebelahnya.
“Thayang.”
Ah… Athaya tahu panggilan ini. Panggilan yang keluar ketika Dimas ingin membujuknya, entah karena telah melakukan hal-hal aneh atau sesuatu yang dapat mengundang amarah Athaya, walau pada kenyataannya ia pun tak betah untuk marah berlama-lama dengan Dimas.
“Duh, pasti kamu habis ngelakuin yang aneh-aneh kan kalau udah manggil aku kayak gitu.”
“Jangan marah tapi.”
“Kapan sih kamu enggak bikin aku marah sehari aja?”
“Anu…”
Athaya mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan memutar tubuh sepenuhnya ke arah Dimas. Menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu, ia amati lekat-lekat gerak-gerik Dimas yang tengah menggaruk tengkuknya, seraya menerka-nerka kesalahan apa gerangan yang diperbuat kekasihnya kali ini, sampai-sampai Dimas sendiri tak berani untuk sekadar bersitatap dengannya.
“Aku lupa ngerjain laprakku, besok udah dikumpul.”
Athaya seketika memejamkan matanya. Tolong, ingatkan Athaya sekali lagi bahwa berpacaran dengan Dimas berarti mengikuti ujian kesabaran secara konstan, tak ada habisnya.
“Kenapa baru ngomong sekarang? Enggak lewat chat atau call?”
Percayalah, Athaya sekarang ini sedang berusaha sekeras mungkin menahan tuas rem yang ada di tubuhnya agar tidak kehilangan kendali untuk berubah jadi singa.
“Aku tahu kamu pasti bakal marahin aku, daripada aku didiemin berhari-hari, mending marahin langsung aja aku.”
“Kamu tuh ya.”
“Maaf.”
“Kebiasaan ngegampangin sesuatu.”
“Maaf, ya?”
Baik, habis sudah kesabarannya. Athaya mengambil satu tarikan napas panjang sebelum memutuskan untuk memberi sesi ceramah kepada Dimas.
“Maaf maaf terus, tapi kalau dikasih tahu enggak pernah didengerin, cuman masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Ini aku lagi ngomong serius lho, Dim. Aku ngomong sama manusia, ‘kan? Bukan sama batu? Masalahnya enggak cuman sekali dua kali kamu kayak gini. Ini tuh bukan cuman ngerugiin diri kamu sendiri, tapi juga orang lain. Kalau sama aku, oke masih aku bisa tolerir, tapi kalau sama yang lain gimana? Kamu mikirin nggak? Coba lain kali kalau udah janjian sama orang lain, tapi kamunya lagi ada tugas atau keperluan tuh mending diselesaiin dulu, atau ngomong at least sehari sebelumnya kalau kamu emang enggak bisa, biar enggak ke-cancel kayak gini. Kalau udah gini kan jadi sayang tiket bioskopnya.”
“Sayang aku enggak?”
“Tuh ‘kan, mana kamu dengerin. Dimas, aku lagi enggak bercanda.”
“Oke, mode serius. Maaf, Kak.”
“Maaf, maaf, gomen!”
“Tuh kan kamunya yang malah bercanda!”
Athaya tak bisa untuk menahan gelak tawanya, pasalnya ia benar-benar gemas melihat kekasihnya yang terus mengerucutkan bibir. Anggap saja sebagai pembalasan dendam atas sikap jahil Dimas terhadapnya selama ini. Athaya kemudian bangkit dari duduknya dan menarik tangan Dimas untuk ikut berdiri.
“Gih sana, pulang. Kerjain lapraknya. Aku pergi sama yang lain aja kalau gitu.” ucap Athaya sembari mendorong tubuh Dimas menuju daun pintu.
“Jangan sama cowok tapi.”
“Hm, let’s see. Kayaknya Biyan lagi free deh.”
“Sayang.”
“Atau Ical ya?”
“Kamu jangan gitu, mending aku enggak ngomong aja tadi. Biar habis nonton, baru kerjain lapraknya.”
“Enggak ya, Dimas. Enggak ada nunda-nunda lagi, kerjain sekarang.”
“Janji enggak jalan sama cowok lain tapi?” ucap Dimas sembari mengacungkan jari kelingking. Athaya menarik kedua sudut bibirnya tipis seraya menyenderkan tubuhnya pada kusen pintu dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Sekarang aku tanya, emang pernah aku jalan sama cowok selain papa dan kamu?”
“Enggak.”
“Ya udah sana, pergiii.”
“Kok diusir?”
“Kamu maunya apa sih, Dim?”
“Hehehe, ampun-ampun. Ya udah, kalau gitu. Aku pulang ya. Nanti kabarin kamu jalannya sama siapa. I love you.” ucap Dimas sembari memberikan flying kiss kepadanya. Seketika terbesit ide di benak Athaya untuk mengerjai Dimas lagi.
“Ya.”
Tepat pada sasaran, persis seperti prediksinya. Dimas nampak kebingungan dengan menaikkan salah satu alisnya.
“Tata, I love you?”
“Iyaaa, hati-hati di jalan.”
“Babe, I said I love you?”
“Iya, udah kan? Mau apa lagi?”
“I love you baliknya mana?”
Astaga, Athaya benar-benar tidak tahan melihat kekasihnya yang bertingkah seperti anak kecil sedang merajuk karena tidak dibelikan es krim. Tolong, ingatkan Athaya juga bahwa berpacaran dengan Dimas berarti harus siap untuk jatuh cinta dengan seluruh versi Dimas, termasuk ketika Dimas sedang dalam mode menjadi bayi besar.
Namun, terlepas dari itu semua, Dimas membuat Athaya sadar bahwa sesederhana kalimat “I love you” dapat begitu berharga. Dari awal berpacaran, Dimas yang selalu lebih lantang untuk mengatakan kalimat cinta tersebut. Jika ditanya mengapa, Dimas pasti menjawab bahwa ia hanya ingin memastikan Athaya selalu merasa dicinta setiap harinya, dan Athaya benar-benar menghargai usahanya.
“Males sama orang bandel.”
“Tata, aku kan udah minta maaf.”
“Iya, iya. Resek banget sih. I love you, bawel.” Sekonyong-konyong Athaya memberi kecupan singkat di pipi kiri kekasihnya. Dimas yang awalnya tak siap mendadak tersenyum sumringah sembari menyentuh bagian pipi yang dikecup oleh kekasihnya tadi.
“I’m indeed your baby.”
Sepertinya mereka lupa ya kalau mereka masih berada di beranda rumah. Mereka juga mungkin tidak sadar kalau sedari tadi bapak penjual es cincau keliling di pinggir sana memandang mereka dengan tatapan hangat sambil bergumam, “Dasar, anak muda.”
Memang benar, kawan-kawan, kalau sudah kadung cinta, dunia serasa hanya milik berdua, yang lain mah cuman ngontrak!