Suara debur ombak mengalun merdu, beradu mesra dengan desir angin yang menerpa halus rambut seorang perempuan yang tengah membenamkan wajahnya dalam-dalam di kedua lutut yang ditekuknya itu. Ia sudah cukup lelah untuk menjadi teguh, sekarang biarkan dia runtuh dan menjadi rapuh. Tanpa sadar, bulir air mata sudah jatuh dari pelupuk.
Hanya kepada alam, Kinandita Alyssa dapat mengadu. Hanya kepada alam, Kinan tidak perlu berpura-pura menjadi tangguh. Hanya kepada alam, ia dapat berkata jujur. Bukan ia tidak punya siapa-siapa untuk diajak bercerita, Kinan hanya benci untuk terlihat lemah.
Rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman untuk berpulang, wadah paling nyaman untuk beristirahat dengan tenang, kini lebih terasa seperti pengadilan. Setiap hari, ada saja perdebatan dari kedua orang tuanya yang membuat Kinan harus mengunci diri di kamar dan menutup telinga rapat-rapat.
Kepalanya mulai penuh, Kinan hampir terlarut apabila ia tidak sadar bahwa sebuah tangan tersampir di pundaknya dengan lembut. Kinan melirik sebentar ke arah tangan tersebut, tak butuh waktu lama ia sudah tahu siapa pemilik tangan itu. Itu tangan kekasihnya, Dipo Nugroho.
Cepat-cepat Kinan mengusap bekas sisa air mata yang sempat lolos dari pelupuk matanya. Ini saatnya untuk kembali bermain peran, ia tarik kedua sudut bibir sampai membentuk sebuah senyuman.
“Nug?”
“Ngapain kamu ke sini?”
“Bukannya seharusnya aku yang tanya ke kamu, Al? Ngapain kamu ke sini? For God’s sake, I’ve been trying to reach you out since this morning and you were nowhere to be found, tell me what do you expect me to be? Biasa-biasa aja? Aku cemas, Alyssa. Coba kalau pulang tadi aku enggak papasan sama Tamara, sampai sekarang aku mungkin enggak bakalan tahu kamu ada di mana.”
Kinan menatap lamat-lamat wajah khawatir kekasihnya, ia dapat menemukan eksistensi peluh yang tengah menghiasi paras teduh pria tersebut, Dipo masih terlihat sempurna. Lain cerita dengan sudut pandang sang pria, baru kali ini ia melihat raut letih yang teramat di wajah gadis kesayangannya. Kinan terlalu pandai bersandiwara, ia sudah menyimpan semuanya sendirian terlalu lama.
“Nug.” panggil Kinan pelan sambil menangkup pipi Dipo dengan tangan kanannya.
“Mau kabur sampai kapan, Al?”
Satu pertanyaan sederhana yang berhasil membuat Kinan menarik tangannya perlahan, ia masih tak berani untuk berhadapan ketika dirinya sedang tidak sanggup untuk terlihat kuat. Kinan memilih menundukkan kepala, mengamati butiran pasir yang menggelitik di telapak kaki telanjangnya.
“Aku cuman enggak mau buat kamu kepikiran.” lirihnya kecil, sangat kecil, namun Dipo yakin masih bisa mendengarnya dengan jelas.
“Seriously, Alyssa? Kamu pikir aku pacar macam apa?”
Tersirat nada kekecewaan pada kalimat Dipo, ia hanya tidak menyangka kalau pikiran semacam itu sempat hinggap di benak Kinan. Dipo memejamkan matanya. Demi apa pun, Dipo ingin mengutuk diri karena telah menjadi payah, selama ini ia gagal mengenali kalau kekasihnya sedang tidak baik-baik saja. Lelaki itu menghembuskan napas kasar sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Al, look at me.”
Kali ini Dipo mengubah intonasi bicaranya menjadi lebih lembut dan menenangkan, walaupun Kinan masih dengan berat hari mengangkat kepalanya yang membuat netra mereka mau tak mau kembali bertubrukan.
“Alyssa, aku enggak mau jadi pacar yang cuman ada pas senengnya kamu. Aku juga mau ada pas susahnya kamu, Al. Jangan takut buat ngebagi bebanmu ke aku. Aku mohon, jangan nanggung semuanya sendirian. Show me your worst, your weak part, and you will still be okay. It won’t change how beautiful and strong you are.”
Mustahil kalau si puan tak dapat menemukan ketulusan dari setiap kalimat yang meluncur dari bibir sang tuan. Sudah jelas-jelas itu terpampang nyata dari binar di balik manik matanya, siapa pun yang melihat juga pasti dapat merasakannya. Kinan menutup wajahnya dengan kedua tangan, tak ada guna dinding yang sudah ia bangun dengan susah payah untuk menjadi tegar, pada akhirnya semua akan runtuh juga. Untuk pertama kalinya, Kinan menangis di hadapan seseorang. Di satu sisi, ia akan selamanya bersyukur karena orang tersebut adalah Dipo yang selalu membuatnya merasa dicinta ketika rumah sudah tidak mampu lagi menyediakan.
“Maaf.”
Hanya satu kata itu yang dapat Kinan ucapkan karena segalanya telah terluap menjadi tangisan. Dipo merengkuh tubuh kekasihnya masuk ke dalam pelukannya. Di situ, Kinan menangis sejadi-jadinya. Sungguh, hatinya hancur melihat sang puan yang selalu terlihat kuat itu menjadi rapuh di hadapannya, sedangkan ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
“Nangis aja sekeras-kerasnya, sayang. Enggak bakal ada yang marah.” ujar Dipo sambil mengeratkan pelukannya pada Kinan, berharap bahwa peluk ini dapat membawa keadaan menjadi lebih baik-baik saja.
“Jangan pernah kepikiran kayak gitu lagi, ya? You will never be a burden to me. Maaf aku enggak pernah tahu kalau selama ini kamu berjuang sendirian. You don’t know how much it hurts me seeing you like this. Kamu pasti udah terlalu lama nyembunyiin semuanya sendirian, Al. Thank you for being so strong after all this time.” Dipo menumpukan dagunya di atas kepala Kinan, ia beri elusan lembut pada kepala itu dengan penuh kasih dan sayang, seolah berusaha mengutarakan seluruh cinta yang ia punya pada tiap sentuhan yang ada.
“It’s totally okay kalau kamu enggak mau cerita sekarang, tapi tolong jangan larang aku buat meluk kamu. You need it more than anything.”
Setelah mencerna ucapan Dipo tersebut, Kinan semakin menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher pria itu, ia dapat merasakan wangi dari aroma citrus dan wood yang berpadu. Kinan kemudian mengatupkan kedua matanya erat, berusaha mengikhlaskan setiap waktu yang selama ini telah ia habiskan sendirian untuk bersenandika pada semesta menjadi rahasia yang menguar di udara.
Dengan Dipo, sekarang ia tidak perlu lagi berpura-pura. Dalam dekapannya, Kinan menemukan ketenangan yang ia damba.
Mungkin pada akhirnya, Kinan menyadari bahwa terkadang rumah tidak selalu suatu tempat, tetapi rumah dapat hadir dalam wujud seseorang. Mungkin pada akhirnya, Kinan menyadari kalau rumah juga dapat berarti sebagai pelukan.
Karena dengan sebuah peluk, segala pelik yang ada dapat mereda.